perjuangan nelayan bertahan hidup
Rabu pagi, 11 Januari 2017, rintik hujan turun di atas Dusun Sungai Sembilang, Desa Sungsang IV, di Kawasan Taman Nasional Brebak Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Sementara itu, para nelayan bergelut di atas kapal yang disandarkan di pinggir dermaga, mengurai gumpalan jaring ikan seusai melaut. Ada lima hingga enam kapal yang mengapung di pinggiran dermaga dengan aktivitasnya masing-masing. Hilir mudik para warga dusun di jembatan kayu dermaga menambah riuh hari-hari para nelayan. Peserta Pelatihan Jurnalistik Untuk Awak Media di Sumsel bersama panitia Zoological Society of London (ZSL) yang mengunjungi Dusun Sungai Sembilang langsung disambut ramah para warga. Keramahan warga terlihat saat awak mengajak berbincang-bincang beberapa warga di pinggiran dermaga, salah satunya adalah Febi. Sembari duduk di pinggir jembatan kayu dermaga, remaja 16 tahun itu menceritakan kesehariannya secara detail. Febi ternyata merupakan salah satu nelayan yang mengais rezeki dari limpahan sumber daya alam (SDA) di bentangan anak Sungai Musi. Meskipun harus meninggalkan bangku pendidikan di kelas IV Sekolah Dasar (SD), Febi tetap optimistis menatap masa depannya. "Sudah tak semangat untuk sekolah, lebih baik jadi nelayan. Walau ibu masih menyuruh saya melanjutkan sekolah, tapi saya lebih suka melaut bersama abang saya. Upah yang didapat lumayan untuk kebutuhan hari-hari dan membantu orangtua," celoteh Febi. Setiap pukul 05.00 WIB, Febi menemani kakaknya Joni (30), berburu bungkak, sebutan lain ikan Tapal Kuda. Jenis ikan ini menjadi salah satu jenis hewan laut bercangkang keras yang menjadi prioritas perburuan para nelayan. Mereka akan pulang melaut pada pukul 17.00 WIB dan langsung mengumpulkan hasil tangkapannya. Namun pagi itu, Febi absen dari aktivitasnya karena kesehatannya yang kurang mendukung. Dalam sehari, Febi biasanya mendapatkan upah sebesar Rp 20.000 hingga Rp 100.000 dari hasil melaut. Namun upah hariannya tergantung dari seberapa banyak bungkak yang didapatkan. Jika mereka berhasil menjaring bungkak bertelur, upah yang didapatkannya pun bisa berkali lipat. Jika bungkak yang tertangkap tidak bertelur, mereka terpaksa melemparnya kembali ke laut karena tidak akan laku terjual. Meskipun sudah tujuh tahun ikut sang kakak melaut, hingga sekarang Febi tidak tahu hasil tangkapannya diperuntukkan buat apa. Febi hanya tahu harga satu ekor bungkak sebesar Rp 15.000 bisa membuat dompetnya terisi. "Kami hanya menjual bungkak ke pengepul. Untuk apa dan dibawa kemana hasil tangkapan tersebut, kami tidak tahu dan tidak pernah bertanya. Yang kami tahu adalah bungkak bertelur bisa menghasilkan uang," ungkap anak ketiga dari lima bersaudara itu.
Baca Juga : Wisata Kopi
Baca Juga : Wisata Kopi
Komentar
Posting Komentar