Adelaide Bahas Revolusi Mental Hari Riset Indonesia
Lagu lawas berjudul Aryati, Indonesia Pusaka dan I Still Call Australia Home yang dibawakan grup Adelindo Angklung menandai dibukanya aktivitas Hari Penelitian Indonesia (Indonesia Research Day) ke empat di Adelaide, Australia Selatan.
Aktivitas tahunan yang di gelar 7 April 2017 di University of Adelaide ini mengangkat topik Revolusi Mental, searah dengan topik kebijakan Pemerintahan Joko Widodo. Penyelenggaran IRD, GoLive Indonesia mendatangkan dua pembicara paling utama. Yang pertama, Dr. Yayan Ganda Hayat Mulyana, Konsul Jenderal RI di Sydney, menuturkan revolusi mental sebagai bentuk transformasi tingkah laku, sikap serta aksi individu.
“Mengingat kembali histori revolusi mental yang diusung mulai sejak saat Kartini, Budi Utomo s/d periode kepemimpinan Presiden Jokowi, hal semacam ini melukiskan kalau ide ini sudah diperjuangkan beberapa pendiri bangsa untuk jadi nilai mulia bangsa Indonesia, ” katanya.
Photo 2. JPG
Profesor Christopher Findlay menyerahkan cenderamata kaus berlambang GoLive Indonesia pada Konsul Jenderal Yayan Ganda Hayat Mulyana.
(Photo : Kiriman/Vidi Valianto)
Yang ke-2, Profesor Deborah Turnbull dari Fakultas Psikologi University of Adelaide menggarisbawahi utamanya rencana revolusi mental dalam tingkah laku manusia. Tetapi ia memberikan utamanya dimensi kesehatan mental dalam rencana revolusi mental untuk meraih kesejahteraan hidup individu.
Dengan mengangkat beberapa gosip kesehatan mental seperti tingginya angka depresi pada negara berkembang serta minimnya.kurang tersedianya akses service kesehatan mental, Prof. Turnbull ajukan basis baru, satu revolusi kesehatan mental.
“Konsep revolusi kesehatan mental mesti merujuk pada dua prinsip paling utama kesehatan mental oleh WHO, yakni, mendasarkan pada prinsip hak asasi manusia, serta memperluas service kesehatan mental dari tingkat anak umur awal hingga pada level komune, ” katanya.
Profesor Christopher Findlay (Executive Dean of the Faculty of the Professions, University of Adelaide) yang juga ikut menghadiri IRD ke-4 sebagai satu diantara pendiri serta penyokong paling utama GoLive Indonesia mengapresiasi aktivitas ini.
IRD ditandai dengan diskusi panel dengan lima topik tidak sama.
Didik Agus Suwarsono, mahasiswa S2 Fakultas Manajemen Lingkungan di Flinders University buka diskusi pertama bertopik Negara Maritim. Menurut Didik, diputuskannya kebijakan Indonesia sebagai poros maritim dunia mengharuskan kita mengerti tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan budaya negara perairan serta pemecahannya.
“Dukungan finansial pada pelaku industri perairan, pencemaran lingkungan serta mahalnya bahan pangan industri perikanan yaitu tiga permasalahan paling utama yang perlu diamati, serta pemerintah butuh memperhitungkan jalan keluar alternatif yang meliputi tiga hal utama, yakni politik, ekonomi serta ilmu dan pengetahuan, ” tuturnya.
Sesaat Arif Hidayatullah, mahasiswa S2 di Fakultas Hukum di Flinders University, menuturkan implementasi hukum konvensi laut internasional kerapkali berikan masalah untuk pemerintah memerangi praktik penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia.
Data th. 2015 mencatat jumlah kapal penangkap ikan ilegal di perairan Indonesia lima kali semakin banyak dibanding kapal yang masuk dengan dokumen komplit.
Persoalan lain yang begitu umum berlangsung yaitu sulitnya menunjukkan kepemilikan kapal yang sah serta keaslian dokumen. Oleh karenanya, aksi penenggelaman serta pengeboman kapal yaitu cara-cara yang dikerjakan oleh Kementerian Kelautan serta Perikanan untuk memberi dampak kapok.
Nuzul Qur'aniati, calon doktor dari Fakultas Keperawatan Flinders University, buka pemaparan diskusi panel ke-2 yang bertopik “Mempersiapkan Kebijakan Lokal di Indonesia”. Nuzul mencatat persoalan paling besar yang dihadapi, tak saja oleh anak pasien HIV namun juga keluarga mereka yaitu stigma serta diskriminasi.
Tetapi, berkaca dari pengalaman beberapa negara seperti India serta Uganda, program penitipan anak yang terintegrasi dengan pendekatan keluarga jadi alternatif jalan keluar yang tengah ditangani Nuzul dalam penelitiannya.
Suryo Guritno, calon doktor yang lain dari Fakultas Kebijakan Umum Flinders University, dalam panel ke-2 itu menuturkan mengenai kebijakan utang keuangan pemerintah pusat pada pemerintah daerah serta beberapa aspek yang memengaruhi, seperti transparansi pemakaian serta rencana keuangan.
Sesaat diskusi panel ketiga mengenai Industri Makanan serta Minuman, Sari Eka bercerita mengenai “Bakulan”, hanya satu toko khas Indonesia di Adelaide. Nama Bakulan sendiri datang dari Bhs Jawa, yang artinya berjualan. Sekurang-kurangnya beberapa barang Indonesia yang dapat didapati di beberapa toko Australia bikin ia serta suami mempunyai inspirasi untuk buka sendiri toko Indonesia di Adelaide.
Pergi dari kerinduan itu, Sari sudah menggerakkan toko Bakulan sepanjang tiga th. serta mengklaim kalau 90% barang yang di jual yaitu product Indonesia asli.
“Saya mengharapkan Bakulan tak cuma jadi toko yang sediakan keperluan beberapa orang Indonesia di Adelaide, namun juga jadi penyambung bersilahturahmi terutama untuk komune Indonesia di Adelaide, ” tuturnya.
Photo 6. JPG
Session photo berbarengan dengan Konsul Jenderal, perwakilan DFAT South Australia, Prof Findlay, Prof Turnbull, semua panelis serta peserta.
(Photo : Kiriman/Vidi Valianto)
Pada diskusi panel ke empat, topik Pendidikan sebagai Basis Pembangunan dibicarakan oleh Aryani Tri Wrastari, mahasiswa PhD dari Fakultas Pendidikan University of Adelaide. Aryani menerangkan bagaimana agama bisa jadi modalitas budaya untuk guru sebagai agen pergantian di pendidikan.
Ia wawancarai 13 pendidik di Indonesia dari lima latar belakang agama, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, serta Katolik. “Penelitian ini diinginkan memberi peran teori untuk meningkatkan jenis pendidikan yang memberi efek transformasi di Indonesia”, katanya.
Sesaat Welmince Djulete dalam pemaparannya membahas utamanya penambahan kwalitas pendidikan di rural serta ruang ketinggalan dengan mengimplementasikan jenis pendidikan yang berbasiskan orang-orang.
Calon doktor dari Fakultas Pendidikan di Flinders University ini menuturkan permasalahan classic yang menghalangi penambahan kwalitas guru, mencakup kurangnya support sarana, tips serta kebijakan pemerintah yang belum dapat menjawab keperluan guru.
Di session ini dapat Yusnita Febrianti, calon doktor dari Fakultas Bhs University of Adelaide mendiskusikan persoalan dalam buku-buku teks Bhs Inggris di kurikulum pendidikan menengah, terutama kelas 7 serta 8.
Menurut Yusnita, visualisasi narasi yang jelek ditambah instruksi serta keterangan yg tidak pas tujuan ataupun konteks bakal begitu memengaruhi sistem belajar siswa. “Guru begitu dituntut untuk mempunyai kepekaan serta pengetahuan dalam pilih buku teks yang pas dalam soal isi serta visualisasinya”, imbuhnya.
Diskusi panel paling akhir mengulas Kebijakan Luar Negeri RI. Panelis Sian Troath, mahasiswa PhD dari Jurusan Histori serta Jalinan Internasional University of Adelaide, menerangkan dinamika keyakinan yang memberi warna jalinan Indonesia-Australia dari saat kepemimpinan Soekarno serta Soeharto.
Sian menyimpulkan pentingnya kajian intensif mengenai jalinan bilateral Indonesia-Australia, supaya bisa menolong mengerti beberapa aspek yang memengaruhi ketidakpastian serta tidak percaya dalam rekanan ke-2 negara.
Di session ini dapat Yessi Olivia, calon doktor dari Jurusan Histori serta Jalinan Internasional University of Adelaide, menuturkan Kebijakan Bebas Aktif Luar Negeri RI serta efeknya pada gosip HAM.
Baca Juga : Tentang Kopi
Yessi menuturkan transisi arah kebijakan dari saat sebelumnya serta setelah Presiden Habibie, sebagai tonggak baru demokrasi di Indonesia. Diluar itu, Yessi juga menggarisbawahi fungsi media di masa tehnologi info dalam memengaruhi gosip hak asasi manusia, terlebih pada perempuan serta anak.
Terkecuali mengadakan diskusi, IRD ke-4 kali ini dapat menandai perubahan dari Aritta Gracia Girsang yang sudah mengadakan GoLive Indonesia sepanjang 3 th. pada Indra Yohanes Kiling. Topik psikologi juga mulai dikenalkan pada gelaran IRD kesempatan ini, menandai pelebaran kajian dalam diskusi GoLive Indonesia yang sampai kini lebih kental dengan beberapa topik perdagangan, pertanian serta pangan.
Aktivitas tahunan yang di gelar 7 April 2017 di University of Adelaide ini mengangkat topik Revolusi Mental, searah dengan topik kebijakan Pemerintahan Joko Widodo. Penyelenggaran IRD, GoLive Indonesia mendatangkan dua pembicara paling utama. Yang pertama, Dr. Yayan Ganda Hayat Mulyana, Konsul Jenderal RI di Sydney, menuturkan revolusi mental sebagai bentuk transformasi tingkah laku, sikap serta aksi individu.
“Mengingat kembali histori revolusi mental yang diusung mulai sejak saat Kartini, Budi Utomo s/d periode kepemimpinan Presiden Jokowi, hal semacam ini melukiskan kalau ide ini sudah diperjuangkan beberapa pendiri bangsa untuk jadi nilai mulia bangsa Indonesia, ” katanya.
Photo 2. JPG
Profesor Christopher Findlay menyerahkan cenderamata kaus berlambang GoLive Indonesia pada Konsul Jenderal Yayan Ganda Hayat Mulyana.
(Photo : Kiriman/Vidi Valianto)
Yang ke-2, Profesor Deborah Turnbull dari Fakultas Psikologi University of Adelaide menggarisbawahi utamanya rencana revolusi mental dalam tingkah laku manusia. Tetapi ia memberikan utamanya dimensi kesehatan mental dalam rencana revolusi mental untuk meraih kesejahteraan hidup individu.
Dengan mengangkat beberapa gosip kesehatan mental seperti tingginya angka depresi pada negara berkembang serta minimnya.kurang tersedianya akses service kesehatan mental, Prof. Turnbull ajukan basis baru, satu revolusi kesehatan mental.
“Konsep revolusi kesehatan mental mesti merujuk pada dua prinsip paling utama kesehatan mental oleh WHO, yakni, mendasarkan pada prinsip hak asasi manusia, serta memperluas service kesehatan mental dari tingkat anak umur awal hingga pada level komune, ” katanya.
Profesor Christopher Findlay (Executive Dean of the Faculty of the Professions, University of Adelaide) yang juga ikut menghadiri IRD ke-4 sebagai satu diantara pendiri serta penyokong paling utama GoLive Indonesia mengapresiasi aktivitas ini.
IRD ditandai dengan diskusi panel dengan lima topik tidak sama.
Didik Agus Suwarsono, mahasiswa S2 Fakultas Manajemen Lingkungan di Flinders University buka diskusi pertama bertopik Negara Maritim. Menurut Didik, diputuskannya kebijakan Indonesia sebagai poros maritim dunia mengharuskan kita mengerti tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan budaya negara perairan serta pemecahannya.
“Dukungan finansial pada pelaku industri perairan, pencemaran lingkungan serta mahalnya bahan pangan industri perikanan yaitu tiga permasalahan paling utama yang perlu diamati, serta pemerintah butuh memperhitungkan jalan keluar alternatif yang meliputi tiga hal utama, yakni politik, ekonomi serta ilmu dan pengetahuan, ” tuturnya.
Sesaat Arif Hidayatullah, mahasiswa S2 di Fakultas Hukum di Flinders University, menuturkan implementasi hukum konvensi laut internasional kerapkali berikan masalah untuk pemerintah memerangi praktik penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia.
Data th. 2015 mencatat jumlah kapal penangkap ikan ilegal di perairan Indonesia lima kali semakin banyak dibanding kapal yang masuk dengan dokumen komplit.
Persoalan lain yang begitu umum berlangsung yaitu sulitnya menunjukkan kepemilikan kapal yang sah serta keaslian dokumen. Oleh karenanya, aksi penenggelaman serta pengeboman kapal yaitu cara-cara yang dikerjakan oleh Kementerian Kelautan serta Perikanan untuk memberi dampak kapok.
Nuzul Qur'aniati, calon doktor dari Fakultas Keperawatan Flinders University, buka pemaparan diskusi panel ke-2 yang bertopik “Mempersiapkan Kebijakan Lokal di Indonesia”. Nuzul mencatat persoalan paling besar yang dihadapi, tak saja oleh anak pasien HIV namun juga keluarga mereka yaitu stigma serta diskriminasi.
Tetapi, berkaca dari pengalaman beberapa negara seperti India serta Uganda, program penitipan anak yang terintegrasi dengan pendekatan keluarga jadi alternatif jalan keluar yang tengah ditangani Nuzul dalam penelitiannya.
Suryo Guritno, calon doktor yang lain dari Fakultas Kebijakan Umum Flinders University, dalam panel ke-2 itu menuturkan mengenai kebijakan utang keuangan pemerintah pusat pada pemerintah daerah serta beberapa aspek yang memengaruhi, seperti transparansi pemakaian serta rencana keuangan.
Sesaat diskusi panel ketiga mengenai Industri Makanan serta Minuman, Sari Eka bercerita mengenai “Bakulan”, hanya satu toko khas Indonesia di Adelaide. Nama Bakulan sendiri datang dari Bhs Jawa, yang artinya berjualan. Sekurang-kurangnya beberapa barang Indonesia yang dapat didapati di beberapa toko Australia bikin ia serta suami mempunyai inspirasi untuk buka sendiri toko Indonesia di Adelaide.
Pergi dari kerinduan itu, Sari sudah menggerakkan toko Bakulan sepanjang tiga th. serta mengklaim kalau 90% barang yang di jual yaitu product Indonesia asli.
“Saya mengharapkan Bakulan tak cuma jadi toko yang sediakan keperluan beberapa orang Indonesia di Adelaide, namun juga jadi penyambung bersilahturahmi terutama untuk komune Indonesia di Adelaide, ” tuturnya.
Photo 6. JPG
Session photo berbarengan dengan Konsul Jenderal, perwakilan DFAT South Australia, Prof Findlay, Prof Turnbull, semua panelis serta peserta.
(Photo : Kiriman/Vidi Valianto)
Pada diskusi panel ke empat, topik Pendidikan sebagai Basis Pembangunan dibicarakan oleh Aryani Tri Wrastari, mahasiswa PhD dari Fakultas Pendidikan University of Adelaide. Aryani menerangkan bagaimana agama bisa jadi modalitas budaya untuk guru sebagai agen pergantian di pendidikan.
Ia wawancarai 13 pendidik di Indonesia dari lima latar belakang agama, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, serta Katolik. “Penelitian ini diinginkan memberi peran teori untuk meningkatkan jenis pendidikan yang memberi efek transformasi di Indonesia”, katanya.
Sesaat Welmince Djulete dalam pemaparannya membahas utamanya penambahan kwalitas pendidikan di rural serta ruang ketinggalan dengan mengimplementasikan jenis pendidikan yang berbasiskan orang-orang.
Calon doktor dari Fakultas Pendidikan di Flinders University ini menuturkan permasalahan classic yang menghalangi penambahan kwalitas guru, mencakup kurangnya support sarana, tips serta kebijakan pemerintah yang belum dapat menjawab keperluan guru.
Di session ini dapat Yusnita Febrianti, calon doktor dari Fakultas Bhs University of Adelaide mendiskusikan persoalan dalam buku-buku teks Bhs Inggris di kurikulum pendidikan menengah, terutama kelas 7 serta 8.
Menurut Yusnita, visualisasi narasi yang jelek ditambah instruksi serta keterangan yg tidak pas tujuan ataupun konteks bakal begitu memengaruhi sistem belajar siswa. “Guru begitu dituntut untuk mempunyai kepekaan serta pengetahuan dalam pilih buku teks yang pas dalam soal isi serta visualisasinya”, imbuhnya.
Diskusi panel paling akhir mengulas Kebijakan Luar Negeri RI. Panelis Sian Troath, mahasiswa PhD dari Jurusan Histori serta Jalinan Internasional University of Adelaide, menerangkan dinamika keyakinan yang memberi warna jalinan Indonesia-Australia dari saat kepemimpinan Soekarno serta Soeharto.
Sian menyimpulkan pentingnya kajian intensif mengenai jalinan bilateral Indonesia-Australia, supaya bisa menolong mengerti beberapa aspek yang memengaruhi ketidakpastian serta tidak percaya dalam rekanan ke-2 negara.
Di session ini dapat Yessi Olivia, calon doktor dari Jurusan Histori serta Jalinan Internasional University of Adelaide, menuturkan Kebijakan Bebas Aktif Luar Negeri RI serta efeknya pada gosip HAM.
Baca Juga : Tentang Kopi
Yessi menuturkan transisi arah kebijakan dari saat sebelumnya serta setelah Presiden Habibie, sebagai tonggak baru demokrasi di Indonesia. Diluar itu, Yessi juga menggarisbawahi fungsi media di masa tehnologi info dalam memengaruhi gosip hak asasi manusia, terlebih pada perempuan serta anak.
Terkecuali mengadakan diskusi, IRD ke-4 kali ini dapat menandai perubahan dari Aritta Gracia Girsang yang sudah mengadakan GoLive Indonesia sepanjang 3 th. pada Indra Yohanes Kiling. Topik psikologi juga mulai dikenalkan pada gelaran IRD kesempatan ini, menandai pelebaran kajian dalam diskusi GoLive Indonesia yang sampai kini lebih kental dengan beberapa topik perdagangan, pertanian serta pangan.
Komentar
Posting Komentar