Jejak Kartini Telah Hilang pada Pendidikan Kita
" Badan bisa saja terpasung, tetapi tak dengan jiwa serta fikiran kita ", sekelumit pembicaraan pada Kartini serta kakaknya Kartono dimuka saat pingitan (saat untuk wanita Jawa dikurung didalam tempat tinggal sampai dilamar oleh lelaki bangsawan).
Mujur, Kartini mempunyai kakak kandung Kartono yang diam-diam memberi peluang padanya untuk membaca buku-buku mengenai perjuangan emansipasi wanita di Belanda. Tidak juga kalah utama yaitu support ayahnya hingga Kartini bisa keluar dari pingitan serta memiliki kesempatan belajar dan bertukar fikiran dengan beberapa golongan terpelajar Belanda yang tengah menggerakkan politik etis di dalam gelombang pergantian besar waktu itu.
Dengan membaca serta bertukar fikiran, Kartini tercerahkan serta sadar kalau kegelisahannya yaitu riil serta butuh pemecahannya. Kebiasaan yang mengagungkan dominasi lelaki di semua bagian, demikian sebaliknya melarang wanita memperoleh pendidikan tinggi sampai mempunyai pilihannya sendiri, keyakinan orang-orang pada mitos yang susah membedakan mana kenyataan serta fiksi, telah tidak cocok dengan pergantian jaman. Dalam suratnya pada Stella Zihandelar, Kartini inginkan supaya beberapa perempuan Jawa miliki peluang sama dengan perempuan di negeri Belanda.
Di saat itu, bila Kartini berjuang penuh lara untuk memperoleh pendidikan karna dia yakin kalau pendidikan yaitu hanya satu langkah untuk merubah orang-orangnya. Bagaimana dengan system pendidikan kita sekarang ini?
Pendidikan sekarang ini yaitu pendidikan yang kurikulumnya lebih mengutamakan pada kekuatan menghafal, memperoleh prestasi nilai ujian nasional (UN) yang tinggi serta di terima di sekolah favorite. Tetapi bukanlah pendidikan untuk bangun sistem belajar yang benar yang membuahkan siswa lewat cara memikirkan yang mandiri serta merdeka.
Baca Juga : Penikmat Kopi
System evaluasi serta pengajaran yang masih tetap searah serta berdasar pada panduan guru menyebabkan anak didik kurang berani untuk menyampaikan pendapat di muka kelas. Terlebih bila jawabannya berbeda dengan kunci lembar jawaban, jadi anak bakal condong menarik diri takut disalahkan. Meskipun telah meniti pendidikan tinggi serta jadi sarjana, mereka kurang mempunyai macam pilihan dalam melakukan kehidupan, karna sekolahnya miskin tantangan serta systemnya membelenggu anak didik untuk menyebutkan gagasannya dengan berani.
Pendekatan hafalan serta berdasar pada kunci jawaban bikin anak-anak takut bereksplorasi menjelajahi dunia yg tidak berbatas terlebih memakai pengetahuannya untuk menjawab masalah yang ada. Mereka terjebak jadi manusia 'penakut' yg tidak berani maju serta berbuat apa-apa.
Tidak sama dengan Kartini, pendidikannya didapat dengan cara mandiri serta dipakai untuk mengangkat kesejahteraan orang-orang Jepara dengan melatih mereka bikin ukiran wayang yang di jual sampai ke negeri Belanda serta Eropa. Meskipun mitos yang berkembang di orang-orang Jepara saat itu bikin ukiran wayang bisa menghadirkan bencana, Kartini dengan teguh serta support ayahnya dapat memakai pengetahuannya untuk memberikan keyakinan orang-orang supaya bisa membedakan pada kenyataan serta fiksi atau dogma yg tidak masuk akal untuk diakui.
Sedang sekolah sekarang ini lebih sebagai etalase pengajaran yang miskin arti, terpisah dari kehidupan riil. Guru lebih disibukkan mengurusi beban administrasi serta menguber sertifikasi untuk mendukung kesejahteraan mereka. Bank Dunia pada th. 2013 melaporkan kalau penambahan upah guru lewat sertifikasi tak diikuti oleh kwalitas pengajarannya hingga beresiko kecil pada penambahan kwalitas pendidikan di Indonesia. Guru tak dapat bikin anak-anak tumbuh jadi manusia dewasa yang bisa memikirkan sendiri. Alih-alih tumbuh jadi anak yang merdeka serta mandiri, mereka malah yang sudah berpendidikan tinggi terjebak dalam ketakutannya sendiri dalam memutuskan, atau demikian sebaliknya terjerat untuk terasa benar sendiri.
Dalam suratnya pada Ny Abendanon, meskipun berstatus wanita pingitan, Kartini memohon berjumpa dengan Kyai Sholeh Darat untuk menuliskan terjemahan Alquran kedalam teks bhs Jawa supaya gampang di tangkap esensi-esensinya.
Karna pilih untuk lakukan pergantian, Kartini memerlukan rujukan baik teks akademis maupun agama (ayat Alquran) untuk jadi tips memikirkan dengan pas. Kartini sadar kalau rujukan yang pas bakal membuahkan pengetahuan baru, serta keberanian untuk menjelajahi beberapa hal baru yang belum terpikirkan terlebih dulu.
Kombinasi kemauan, ilmu dan pengetahuan, agama serta pengalaman kehidupan riil berikut yang membedakan perjuangan Kartini dibanding pahlawan yang lain di Indonesia. Kartini menjelma jadi sosok emansipatoris dalam merubah jati diri orang-orangnya dari semua ketertinggalan.
Ironisnya, pendidikan di Indonesia malah sudah meninggalkan jejak-jejak Kartini. Sekolah tak ada untuk memberi tantangan riil pada siswanya karna evaluasi senantiasa dikerjakan didalam ruangan kelas yang monoton serta kaku. Anak tak dilatih dengan cara sadar untuk berhubungan dengan lingkungan sosialnya serta bebas mengeksplorasi beragam sumber rujukan (buku, alam sampai internet). Hingga anak-anak terasa miskin tantangan, serta kekuatan analisa berpikirnya tumpul karna terbatasnya rujukan yang dibacanya.
Tidak sama dengan Kartini yang gawat dengan semangat rasa menginginkan tahu yang tinggi jadi bekal paling utama didalam mengorganisasi dianya untuk bikin terobosan yang transformatif. Sedang, anak-anak kita yang hidup di masa milennial, malah terbunuh kreatifitas serta kekritisannya oleh system sekolah yang cuma penuhi tuntutan standard nilai pemerintah. Alhasil, mereka tumbuh jadi pribadi yang gagap hadapi ketidakpastian karna tidak bisa bikin beberapa cara baru.
Walau sebenarnya Ki Hadjar Dewantoro menuliskan di bukunya (halaman 17) kalau maksud pengajaran yaitu diperuntukkan ke arah kecerdikan murid, senantiasa menambahnya pengetahuan yang bermanfaat, membiasakannya mencari pengetahuan sendiri, serta mempergunakan pengetahuannya untuk kepentingan umum.
Pesan berikut yang sudah hilang pada system pendidikan kita. Karna pendidikan kita sangat disibukkan oleh masalah pertandingan serta UN. Untuk menangkap pesan itu, yang kita butuhkan yaitu bekerja bersama bukanlah berkompetisi, yaitu merubah langkah kita 'belajar' untuk membuahkan 'cara berpikir' yang merdeka serta mandiri.
“Kamu mesti sharing karna pergantian tak dapat jalan sendirian”. (Surat Kartono pada Kartini).
Mujur, Kartini mempunyai kakak kandung Kartono yang diam-diam memberi peluang padanya untuk membaca buku-buku mengenai perjuangan emansipasi wanita di Belanda. Tidak juga kalah utama yaitu support ayahnya hingga Kartini bisa keluar dari pingitan serta memiliki kesempatan belajar dan bertukar fikiran dengan beberapa golongan terpelajar Belanda yang tengah menggerakkan politik etis di dalam gelombang pergantian besar waktu itu.
Dengan membaca serta bertukar fikiran, Kartini tercerahkan serta sadar kalau kegelisahannya yaitu riil serta butuh pemecahannya. Kebiasaan yang mengagungkan dominasi lelaki di semua bagian, demikian sebaliknya melarang wanita memperoleh pendidikan tinggi sampai mempunyai pilihannya sendiri, keyakinan orang-orang pada mitos yang susah membedakan mana kenyataan serta fiksi, telah tidak cocok dengan pergantian jaman. Dalam suratnya pada Stella Zihandelar, Kartini inginkan supaya beberapa perempuan Jawa miliki peluang sama dengan perempuan di negeri Belanda.
Di saat itu, bila Kartini berjuang penuh lara untuk memperoleh pendidikan karna dia yakin kalau pendidikan yaitu hanya satu langkah untuk merubah orang-orangnya. Bagaimana dengan system pendidikan kita sekarang ini?
Pendidikan sekarang ini yaitu pendidikan yang kurikulumnya lebih mengutamakan pada kekuatan menghafal, memperoleh prestasi nilai ujian nasional (UN) yang tinggi serta di terima di sekolah favorite. Tetapi bukanlah pendidikan untuk bangun sistem belajar yang benar yang membuahkan siswa lewat cara memikirkan yang mandiri serta merdeka.
Baca Juga : Penikmat Kopi
System evaluasi serta pengajaran yang masih tetap searah serta berdasar pada panduan guru menyebabkan anak didik kurang berani untuk menyampaikan pendapat di muka kelas. Terlebih bila jawabannya berbeda dengan kunci lembar jawaban, jadi anak bakal condong menarik diri takut disalahkan. Meskipun telah meniti pendidikan tinggi serta jadi sarjana, mereka kurang mempunyai macam pilihan dalam melakukan kehidupan, karna sekolahnya miskin tantangan serta systemnya membelenggu anak didik untuk menyebutkan gagasannya dengan berani.
Pendekatan hafalan serta berdasar pada kunci jawaban bikin anak-anak takut bereksplorasi menjelajahi dunia yg tidak berbatas terlebih memakai pengetahuannya untuk menjawab masalah yang ada. Mereka terjebak jadi manusia 'penakut' yg tidak berani maju serta berbuat apa-apa.
Tidak sama dengan Kartini, pendidikannya didapat dengan cara mandiri serta dipakai untuk mengangkat kesejahteraan orang-orang Jepara dengan melatih mereka bikin ukiran wayang yang di jual sampai ke negeri Belanda serta Eropa. Meskipun mitos yang berkembang di orang-orang Jepara saat itu bikin ukiran wayang bisa menghadirkan bencana, Kartini dengan teguh serta support ayahnya dapat memakai pengetahuannya untuk memberikan keyakinan orang-orang supaya bisa membedakan pada kenyataan serta fiksi atau dogma yg tidak masuk akal untuk diakui.
Sedang sekolah sekarang ini lebih sebagai etalase pengajaran yang miskin arti, terpisah dari kehidupan riil. Guru lebih disibukkan mengurusi beban administrasi serta menguber sertifikasi untuk mendukung kesejahteraan mereka. Bank Dunia pada th. 2013 melaporkan kalau penambahan upah guru lewat sertifikasi tak diikuti oleh kwalitas pengajarannya hingga beresiko kecil pada penambahan kwalitas pendidikan di Indonesia. Guru tak dapat bikin anak-anak tumbuh jadi manusia dewasa yang bisa memikirkan sendiri. Alih-alih tumbuh jadi anak yang merdeka serta mandiri, mereka malah yang sudah berpendidikan tinggi terjebak dalam ketakutannya sendiri dalam memutuskan, atau demikian sebaliknya terjerat untuk terasa benar sendiri.
Dalam suratnya pada Ny Abendanon, meskipun berstatus wanita pingitan, Kartini memohon berjumpa dengan Kyai Sholeh Darat untuk menuliskan terjemahan Alquran kedalam teks bhs Jawa supaya gampang di tangkap esensi-esensinya.
Karna pilih untuk lakukan pergantian, Kartini memerlukan rujukan baik teks akademis maupun agama (ayat Alquran) untuk jadi tips memikirkan dengan pas. Kartini sadar kalau rujukan yang pas bakal membuahkan pengetahuan baru, serta keberanian untuk menjelajahi beberapa hal baru yang belum terpikirkan terlebih dulu.
Kombinasi kemauan, ilmu dan pengetahuan, agama serta pengalaman kehidupan riil berikut yang membedakan perjuangan Kartini dibanding pahlawan yang lain di Indonesia. Kartini menjelma jadi sosok emansipatoris dalam merubah jati diri orang-orangnya dari semua ketertinggalan.
Ironisnya, pendidikan di Indonesia malah sudah meninggalkan jejak-jejak Kartini. Sekolah tak ada untuk memberi tantangan riil pada siswanya karna evaluasi senantiasa dikerjakan didalam ruangan kelas yang monoton serta kaku. Anak tak dilatih dengan cara sadar untuk berhubungan dengan lingkungan sosialnya serta bebas mengeksplorasi beragam sumber rujukan (buku, alam sampai internet). Hingga anak-anak terasa miskin tantangan, serta kekuatan analisa berpikirnya tumpul karna terbatasnya rujukan yang dibacanya.
Tidak sama dengan Kartini yang gawat dengan semangat rasa menginginkan tahu yang tinggi jadi bekal paling utama didalam mengorganisasi dianya untuk bikin terobosan yang transformatif. Sedang, anak-anak kita yang hidup di masa milennial, malah terbunuh kreatifitas serta kekritisannya oleh system sekolah yang cuma penuhi tuntutan standard nilai pemerintah. Alhasil, mereka tumbuh jadi pribadi yang gagap hadapi ketidakpastian karna tidak bisa bikin beberapa cara baru.
Walau sebenarnya Ki Hadjar Dewantoro menuliskan di bukunya (halaman 17) kalau maksud pengajaran yaitu diperuntukkan ke arah kecerdikan murid, senantiasa menambahnya pengetahuan yang bermanfaat, membiasakannya mencari pengetahuan sendiri, serta mempergunakan pengetahuannya untuk kepentingan umum.
Pesan berikut yang sudah hilang pada system pendidikan kita. Karna pendidikan kita sangat disibukkan oleh masalah pertandingan serta UN. Untuk menangkap pesan itu, yang kita butuhkan yaitu bekerja bersama bukanlah berkompetisi, yaitu merubah langkah kita 'belajar' untuk membuahkan 'cara berpikir' yang merdeka serta mandiri.
“Kamu mesti sharing karna pergantian tak dapat jalan sendirian”. (Surat Kartono pada Kartini).
Komentar
Posting Komentar